Kelengahan prosedur Pengadaan barang/Jasa seringkali menjadi ancaman
pejabat atau kepala daerah karena sering kali harus berurusan dengan penegak
hukum, bahkan menjadi tindak pidana korupsi. Hal ini tidak aneh karena sektor
Pengadaan Barang/Jasa ini merupakan tergolong rentan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan berita yang diambil dari situs https://news.detik.com/, menurut Kepala
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah kasus Korupsi Pengadaan
Barang/Jasa pemerintah menduduki posisi kedua dalam kasus yang ditangani oleh
KPK. Berdasarkan hasil kajian KPK terhadap upaya pencegahan korupsi pada
pengadaan barang/ jasa pemerintah, ditemukan data bahwa korupsi Pengadaan
Barang/Jasa paling banyak terjadi pada 5 (lima) tahapan atau proses, yaitu :
(1) tahap perencanaan anggaran; (2) tahap perencanaan – persiapan Pengadaan
Barang/Jasa pemerintah;(3) tahap pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa pemerintah;
(4) tahap serah terima dan pembayaran; (5) tahap pengawasan dan pertanggung
jawaban. Misalnya pada saat penyusunan dokumen kerangka acuan kerja pada tahap
perencanaan dimana oknum pengadaan dapat memainkan spesifikasi teknis atas
barang/jasa yang ingin diselenggarakan dengan cara menaikan spesifikasi teknis
sehingga anggaran menjadi membengkak.
Karena terdapatnya celah – celah korupsi di
dalam Pengadaan Barang/Jasa pemerintah, maka urgensi kehadiran advokat yang
mempunyai keahlian di bidang Pengadaan Barang/Jasa untuk memberikan
pendampingan hukum kepada para pemangku kepentingan di bidang Pengadaan
Barang/Jasa pemerintah ini sudah tidak terelakan lagi. Adanya pendampingan dari
advokat Pengadaan Barang/Jasa ini diharapkan dapat mereduksi potensi – potensi yang
menyebabkan kekeliruan proses Pengadaan Brang/Jasa pemerintah sehingga
permasalahan hukum di kemudian hari dapat dihindari. Menyusun Harga Perkiraan Sendiri
membutuhkan keahlian tersendiri. Selain harus memahami karakteristik
spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan, juga harus mengetahui sumber dari
barang/jasa tersebut. Harga barang pabrikan tentu saja berbeda denga harga
distributor apalagi harga pasar. Yang sering terjadi, kesengajaan atau karena
ketidaktahuan, Pejabat Pembuat Komitmen menyerahkan perhitungan Harga Perkiraan
Sendiri kepada penyediaan barang/jasa atau malah kepada makelar yang
melipatgandakan harga tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi. Akibtanya
pada saar pengadaan selesai dan dilakukan pemeriksaan oleh aparat hukum,
ditemukan mark up harga dan mengakibatkan kerugian negara. Adanya advokat
Pengadaan Barang/Jasa diharapkan dapat mencegah hal tersebut.
Ahli Hukum Kontrak dalam
aturan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Keharusan adanya pendampingan seorang advokat
yang mempunyai keahlian di bidang Pengadaan barang/Jasa di dalam proses
Pengadaan Barang/Jasa pemerintah ini sebenarnya telah diatur dalam Peraturan
Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah (yang diubah terakhir kali melalui Perpres No.4 Tahun 2015), yakni
pada Pasal 86 ayat (4) yang berbunyi :
“Penandatangan Kontrak
Pengadaan Barang/Jasa yang komplek dan/atau bernilai di atas Rp 100.000.000.000
(seratus miliar rupiah) dilakukan setelah memperoleh pendapar ahli hukum
kontrak.”
Dengan ketentuan diatas, kiranya diketahuii
bahwa pemerintah menegaskan keniscayaan advokat yang mempunyai keahlian di
bidang Pengadaan Barang/Jasa dalam memberikan suatu jasa hukum berupa pendapat
hukum atau riview terhadap kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang akan
ditandatagani PPK dan penyediaan yang bernilai di atas Rp 100.000.000.000,-. Adanya
penegasan peran seorang advokat Pengadaan Barang/Jasa tersebut diharapkan akan
mengawal proses Pengadaan Barang/Jasa dan kontrak yang akan ditandatangani PPK
dan penyedia tersebut sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Dalam bidang pengadaan jasa kontruksi yang pada
umumnya mempunyai nilai yang signifikan dan bersifat strategis, spirit
ketentuang Pasal 86 ayat (4) Perpres No 54 Tahun 2010 tersebut juga ditegaskan
dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 07/PRT/M/2011 tentang standart dan
pedoman Pengadaan Pekerjaan Kontruksi dan Jasa Konsultasi (sebagaimana diubah
terakhir kali melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat
Nomor : 31/PRT/M/2015) yakni pada pasal 7 yang menyatakan bahwa untuk pekerjaan
konstruksi dan jasa konsultasi yang bernial di atas 100 miliyar dan/atau
bersifat kompleks maka harus didahulukan dengan produk legal opinion dari ahli
hukum kontrak. Selengkapnya berbunyi :
“Kontrak untuk pekerjaan
konstruksi dan jasa konsultasi yang bernilai diatas Rp 100.000.000.000 (seratus
miliyar rupiah) dan/atau yang bersifat komples sebelum di tandatangani oleh
para pihak, terlebih dahulu harus memperoleh pendapat Ahli Hukum Kontrak.”
Saat ini peraturan di atas diubah dengan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 07/PRT/M/2019 tentang standar dan
Pedoman Pengadaan Jasa Kontrusksi Melalui Penyedia. Namun demikian pada
Peraturan Menteri tahun 2019, khususnya pada Pasal 94 ayat (1) tetap ditegaskan
pentingnya peran Ahli Hukum Kontrak di dalam pengadaan jsa konstruksi yang bersifat
kompleks, yang dikutip sebagai berikut :
“Penandatanganan Kontrak
Jasa Konstruksi yang kompleks dilakukan setelah memperoleh pendapat ahli
Kontrak Kerja Konstruksi.”
Kembali ke Perpres tentang pengadaan barag dan
jasa, sebagaimana diketahui bahwa pada Tanggal 22 Maret 2016, pemerintah
Indonesia telah mencabut Peraturan Presiden (Perpres) No.54 Tahun 2010 dengan
Perpres 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Dengan diperbaharui
Perpres Pengadaan Barang dan Jasa terebut pemerintah berharap dapat
meningkatkan efisiensi dan menyempurnakan proses Pengadaan Barang dan Jasa
sebagaiman diatur dalam Perpres sebelumnya. Namun demikian, apabila meneliti
klausal – klausal dalam Perpres 16 Tahun 2018, ternyata ketentuan dalam Pasal
86 ayat (4) Perpres No. 54 Tahun 2010 ternyata tidak ditemui lagi, denga kata
lain pemerintah mencabut keharusan adanya pedampingan seorang advokat yang
mempunyai keahlian di bidang Pengadaan Barang dan Jasa di dalam proses
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Hal ii jelas disayangkan.
Kesimpulan
Sekalipun dijumpai pada
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 07/PRT/M/2019, Penulis tetap memandang
bahwa payung hukum yang lebih tinggi mengenai keharusan pendampingan seorang
advokat yang mempunyai keahlian di bidang Pengadaan Barang dan Jasa pemerintah
jelas tidak direlakan dan pencabutan Pasal 86 ayat (4) Perpres No. 54 Tahun
2010 dalam Perpres 16 Tahun 2018 merupakan sebuah langkah mundur. Didalam Perpres
16 Tahun 2018 tersebut tidak ada suatu payung hukum mengenai pendampingan
seorang advokat yang mempunyai keahlian di bidang Pengadaan Barang dan Jasa di
dalam proses Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah sehingga Potensi – potensi pelanggaran
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menjadi lebih besar dibandingkan dengan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 07/PRT/M/2019. Hal ini disebabkan karena Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum tersebut hanya berbicara megenai lingkup pekerjaan konstruksi
dan tidak menyentuh aspek Pengadaan Barang dan Jasa lainnya di luar itu. Padahal
aspek Pengadaan Barang dan Jasa aspek Pengadaan Barang dan Jasa lainnya juga
tidak kalah penting, rentan dan perlu perhatian dari stakeholder terkait. Kehadiran
Advokat Pengadaan Barang dan Jasa tentu akan mencegah atau setidak – tidaknya meminimalisir
risiko penyalahgunaan Pengadaan Barang dan Jasa tersebut.
Semoga Bermanfaat
_MFFH_