PENGERTIAN PERCERAIAN.
Menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan.Adapun yang
dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan,sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal Menurut Ketuhanan
Yang Maha Esa. Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin
antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan
keluarga antara suami dan istri tersebut.
Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif
hukum berikut:
a. Perceraian menurut hukum Islam yang dipositifkan dalam Pasal 38
dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah
dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, mencakup sebagai berikut:
1) Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang
diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami
kepada Pengadilan Agama yang dianggap terjadi dan berlaku
beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama (vide Pasal 14
sampai Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975).
2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat yaitu perceraian yang
diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif isri kepada
Pengadilan Agama yang dianggap terjadi dan berlaku beserta
segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pegadilan
Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (vide
Pasal 20 sampai Pasal 36).
b. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah
pula dipositifkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang
gugatan cerainya yang diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau
istri kepada Pengadilan Negeri, yang dianggap terjadi beserta segala
akibat hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar
pencatatan oleh Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil (vide
Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975).
Sedangkan perceraian menurut Subekti adalah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan itu. Namun, Subekti tidak menyatakan pengertian
perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu dengan kematian atau
yang disebut dengan istilah “cerai mati”. Jadi, pengertian perceraian
menurut Subekti lebih sempit daripada pengertian menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diuraikan di
atas.
Pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan
imperaktif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
mendamaikan kedua belah pihak. Sehubungan dengan pasal ini, Wahyu
Ernaningsih dan Putu Samawati menjelaskan bahwa walaupun
perceraian adalah urusan pribadi, baik itu atas kehendak satu diantara
dua pihak yang seharusnya tidak perlu ikut campur tangan pihak ketiga,
tetapi demi menghindari tindakan sewenang-wenang, terutama dari
pihak suami dan juga untuk kepastian hukum, maka perceraian harus
melalui saluran lembaga peradilan.
Latar belakang dan tujuan perceraian dapat dipahami bahwa
dalam melaksanakan kehidupan suami istri tentu saja tidak selamanya
berada dalam situasi yang damai dan tentram, tetapi kadang pula terjadi
salah paham antara suami istri sehingga salah paham itu menjadi
berlarut dan tidak dapat didamaikan. Apabila suatu perkawinan yang
demikian dilanjutkan, maka ditakutkan perpecahan antara suami istri ini
akan mengakibatkan perpecahan antara kedua belah pihak. Oleh karena
itu, untuk menghindari perpecahan yang makin meluas, maka dalam agama Islam mensyaratkan perceraian sebagai jalan keluar yang terakhir
bagi suami istri yang sudah gagal dalam membina rumah tangganya.
Soemiyati menjelaskan bahwa perceraian walaupun
diperbolehkan, tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian
adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas Hukum Islam
sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammad dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan dinyatakan shahih oleh Al-Hakim.
Bagi orang yang melakukan perceraian tanpa alasan, Nabi
Muhammad bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Nasa’i dan
Ibnu Hibban, yaitu: “Apakah yang kamu menyebabkan salah seorang
kamu mempermainkan hukum Allah, ia mengatakan: Aku sesugguhnya
telah mentalak (istriku) dan sungguh aku telah merujuknya”.
Akan tetapi, perlu pula diketahui perceraian yang benar menurut
ketentuan Allah dan Rasul-Nya.Garis ketentuan yang benar berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang dipraktikkan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya itulah yang harus dipelajari dan diketahui. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian itu walaupun
diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaannya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh
suami istri, apabila cara-cara lain yang telah diusahakan sebelumnya
tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga
suami istri tersebut.
Sebab-Sebab Perceraian
Walaupun pada dasarnya perkawinan itu bertujuan untuk selamalamanya,
tetapi adakalanya ada sebab-sebab tertentu yang
mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan jadi harus di
putuskan di tengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya, atau
dengan kata lain terjadi perceraian antara suami dan istri. Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113 disebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan
Pengadilan.
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan disebutkan pada pasal 38 yaitu perkawinan dapat
putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan. Putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak dari
suami atau istri maksudnya adalah apabila salah seorang dari kedua
suami istri itu meninggal dunia, maka perkawinannya putus karena
adanya kematian tersebut. Atau perkawinan terhapus jikalau salah satu
pihak meninggal. Putusnya perkawinan karena perceraian antara suami istri
maksudnya apabila suami istri itu bercerai, maka perkawinannya putus
karena adanya perceraian tersebut. Perceraian ini dapat terjadi langsung
atau dengan tempo dengan menggunakan kata talaq atau kata lain yang
senada.putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talaq atau berdasarkan gugatan perceraian, sebagaimana
bunyi pasal 114 Kompilasi Hukum Islam.
Sedangkan putusnya perkawinan atas putusan Pengadilan dapat
terjadi karena pembatalan perkawinan, dengan demikian perkawinan itu
harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang yaitu pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan. Syarat-syarat yang tidak dapat dipenuhi
dalam suatu perkawinan, maka perkawinannya dapat dibatalkan,
sebagaimana tersebut dalam pasal 8, 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.12
Sedangkan perceraian sendiri, seperti yang diungkap dalam Pasal
116 KHI.
Akibat Hukum Perceraian
Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XVII dijelaskan tentang
akibat putusnya perkawinan sebagai berikut:
Akibat Talak di dalam pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak.
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 juga
disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.
Memperhatikan substansi diatas, maka dapat ditegaskan bahwa
perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak dan mantan
suami/istri. Selain itu, perceraian juga mempunyai akibat hukum
terhadap harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan bahwa akibat hukum
terhadap harta bersama diatur menurut hukum agama, hukum adat atau
hukum yang lain. Jika dicermati esensi dari akibat-akibat hukum
percerain yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah
mengakui dan melindungi hak-hak anak dan hak-hak mantan suami/istri
sebagai Hak-hak Asasi Manusia (HAM).
Adapun Undang-Undang yang digunakan dalam proses
perceraian di Pengadilan:
a. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, mengatur
mengenai perceraian secara garis besar (kurang detail karena
tidak membedakan cara perceraian agama Islam dan nonIslam.
b. Kompilasi Hukum Islam bagi pasangan nikah yang beragama
Islam.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur
detail mengenai Pengadilan mana yang berwenang
memproses perkara cerai dan tata cara perceraian secara
praktik.
d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1974, Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bagi seseorang B.
Nafkah dalam Keluarga
Nafkah berarti “belanja”. Maksudnya ialah sesuatu yang diberikan
seseorang kepada istri, kerabat dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi
mereka. Keperluan pokok, seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Terkait dengan nafkah dalam keluarga, maka dalam pasal 80 ayat (4) KHI.
Melalui ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa keperluan
berumah tangga yang harus ditanggung suami mencakup nafkah, kiswah,
tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan. Ketentuan pasal ini juga mempertegas anggapan bahwa nafkah
itu hanya untuk biaya makan, karena di samping nafkah masih ada biaya
rumah tangga, dan hal ini juga tidak sejalan dengan ketentuan etimologi
nafkah yang telah menjadi bagian dari bahasa Indonesia yang berarti
pengeluaran Sedangkan pengaturan nafkah dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan kita dapat melihatnya dalam Pasal 34 ayat (1) UU
Perkawinan.
Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa suami wajib melindungi
isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya. Dalam pengaturan Undang-Undang
Perkawinan tidak ditetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan, hanya
dikatakan sesuai dengan kemampuan si suami.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan hukum
terapan di Pengadilan Agama hanya mengatur secara umum hak dan
kewajiban suami isteri.
Ketentuan tentang hal ini dapat dijumpai dalam
pasal 30 sampai dengan pasal 34. Pada pasal 30 dijelaskan: “Suami isteri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
Undang-undang ini terkait erat dengan kenyataan sosial masyarakat
yang memandang bahwa melaksanakan perkawinan adalah dalam rangka
melaksanakan sebagian dari ketentuan agama, karena itu seluruh kewajiban
yang timbul sebagai akibat perkawinan harus dipandang sebagai kewajiban
luhur untuk menegakkan masyarakat.
Dalam pengelolaan rumah tangga undang-undang menempatkan
suami isteri pada kedudukan yang seimbang. Artinya masing-masing pihak
berhak untuk melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum baik bagi
dirinya sendiri maupun untuk kepentingan bersama dalam keluarga dan
masyarakat. Ini diungkapkan dalam pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), hal ini
30
mengindikasikan bahwa terdapat kemitraan (partnership) antara suami isteri.
Kedudukan yang seimbang tersebut disertai perumusan pembagian pekerjaan
dan tanggung jawab (pasal 31 ayat 3).
Dalam pasal tersebut dijelaskan
bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Perkawinan dikatakan bahwa
apabila suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan (Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan). Ini berarti apabila suami tidak memberikan nafkah untuk
keperluan hidup rumah tangganya, isteri dapat menggugat ke Pengadilan
Negeri atau Pengadilan Agama (bergantung dari agama yang dianut oleh
pasangan suami isteri tersebut).
Nafkah menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 dalam
pasal 34.
1. Nafkah Madiyah
Pada dasarnya nafkah materi (madiyah) adalah sesuatu yang
dikeluarkan suami dari hartanya untuk kepentingan istrinya berup halhal
yang bersifat lahiriah maupun materi. Kewajiban ini berlaku didalam
fikih berdasarkan prinsip pemisahan harta antara suami dan istri.18 Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu pencari rezeki
dan rezeki yang diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh,
selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafkah.Oleh karena
itu, kewajiban ini tidak relevan dalam komunitas yang menganut prinsip
penggabungan harta dalam rumah tangga.19
2. Nafkah Mut’ah
Nafkah mut’ah yaitu pemberian suami kepada istri yang
diceraikannya sebagai kompensasi. Hal ini sesuai dengan penjelasan
yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada Buku I Bab I Pasal 1
ayat (j): “Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang telah
dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.”
Walaupun demikian, yang perlu diperhatikan adalah pemberian
ini terjadi setelah dijatuhi talak, itupun bakda dukhul.Hal ini dijelaskan
dalam Pasal 149 ayat (a) Kompilasi Hukum Islam Buku I: “memberikan
mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda,
kecuali bekas istri tersebut qabla dukhul.”
Sebagaimana diketahui bahwa mut’ah dalam Kompilasi Hukum
Islam adalah pemberian bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi talak,
berupa benda, uang atau lainnya, maka mut’ah tersebut dapat menjadi
wajib dan dapat pula menjadi sunat. Mut’ah wajib diberikan oleh bekas
suami dengan syarat belum ditetapkannya bagi istri bakda dukhul dan
perceraian terjadi atas kehendak suami.Adapun mut’ah sunnat diberikan
19 Ibid.,168
32
oleh bekas suami tanpa syarat yang telah ditetapkan pasal 158. Artinya,
nafkah mut’ah yang diberikan oleh bekas suami kepadanya istriya itu
pemberian semata.
C. Hadanah
1. Pengertian Hadanah
Hadanah menurut Mahmud Yunus dalam kamus Arab-Indonesia
“hadana-yahdunu-hadnan”, yang berarti mengasuh anak, memeluk
anak.20 Selain itu, bermakna mendekap, memeluk, mengasuh dan
merawat.
Hadanah (pengasuhan) menurut penjelasan Muhammad Talib,
merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena mereka
membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksana urusannya, dan orang
yang mendidiknya. Ibulah yang berkewajiban melakukan hadanah ini,
karena Rasulullah bersabda: “Engkau (ibu) yang lebih berhak kepadanya
(anak)”.
Hal ini dimaksudkan jangan sampai hak anak atas pemeliharaan
dan pendidikannya tersia-siakan, jika ternyata hadanahnya dapat
ditangani orang lain, umpama nenek perempuannya dan ia rela
melakukannya sedang ibunya sendiri tidak mau, maka hak ibu untuk
mengasuh (hadanah) gugur dengan sebab nenek perempuan mengasuhnya., karena nenek perempuan juga mempunyai hak hadanah
(mengasuh).
Istilah hadanah dapat dijumpai dalam pasal 156 Kompilasi
Hukum Islam (instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991). Namun kalau
dilihat dari pengertiannya bahwa hadanah ialah memelihara dan
mendidik anak, maka hal ini diatur juga dalam pasal 45 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hadanah anak erat hubungannya dengan nafkah anak. Hadanah
berarti pemeliharaan anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil
atau anak dungu yang tidak dapat membedakan sesuatu dan belum dapat
berdiri sendiri, menjaga kepentingan anak, melindunginya dari segala
yang membahayakan dirinya, mendidik jasmani dan rohani serta
akalnya, supaya si anak dapat berkembang dan mengatasi persoalan
hidup yang dihadapinya.
Dari berbagai keterangan diatas, dapat diambil definisi yang
pokok bahwa hadanah ialah:
1) Pemeliharaan terhadap anak-anak yang belum dewasa, dengan
meliputi biaya dan pendidikannya.
2) Hadanah dilakukan oleh orang tua
2. Dasar Hukum Hadanah
Kewajiban orang tua terhadap anaknya meliputi berbagai aspek,
namun jika disederhanakan aspek tersebut terdiri atas dua yaitu
kewajiban moril dan materiil.24 Dalam Islam kewajiban tersebut
merupakan kewajiban bersama, jadi tidak hanya ditujukan kepada ayah,
namun ibu juga harus membantu dalam memikul dan berusaha
melakukan yang terbaik bagi anaknya.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan telah disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara
tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia,
akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci.
Oleh karena itu,
masalah penguasaan anak (hadanah)ini belum dapat diberlakukan secara
efektif, sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama pada
waktu itu masih mempergunakan hukum hadanah yang tersebut dalam
Kitab-kitab Fiqh ketika memutus perkara tentang hadanah itu. Setelah
diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam, masalah hadanah menjadi hukum positif di
Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menjadi dan
menyelesaikannya.
Dalam pasal 42-54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anaknya mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.26 Kewajiban ini
berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus
karena perceraian atau kematian.
Disamping itu, Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak juga menjelaskan tentang hal pengasuhan
anak, yaitu:
Pasal 26
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat dan minatnya;
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada atau tidak diketahui
keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat
melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
3. Yang Berhak Melakukan Pemeliharaan Anak
Adanya seorang dalam sebuah rumah tangga merupakan sebuah
keniscayaan. Adanya seorang anak memang sangat diharapkan oleh
kedua orang tua. Namun demikian, kedua orang tua dibebankan sebauh
kewajiban untuk merawat dan memelihara sang anak, mulai dari pangan,
sandang, papan dan pendidikan.
Selain kedua orang tua, ada beberapa pihak, yang dalam undangundang
diberikan kewajiban pada saat-saat tertentu untuk merawat an
memelihara si anak. Adapun urutan orang-orang yang berhak melakukan
pemeliharaan anak dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
Pasal 156 huruf (a)
Penggantian kedudukan ibu yang memegang dan memelihara atas anak,
hal ini dilakukan apabila ibu dari si anak telah meninggal dunia, ia dapat
digantikan oleh:
a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu, misal nenek dari
pihak ibu si anak
b. Ayah si anak
c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
d. Saudara perempuan dari anak tersebut
e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu,
missal bibi dari ibu si anak
f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
Pasal 105
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (12 tahun), maka hak ibu.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada
anaknya untuk memlih antara ayah atau ibunya.
Pasal 106
(1) Orang tua berkewajiban merawat dn mengembangkan harta anaknya
yang belum dewasa atau di bawah pengampuan dan tidak
diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena
keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu
menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan
lagi.
(2) Orang tua bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).